Matahari telah tergelincir di ufuk barat. Hampir-hampir tiada kelihatan jejak sinarnya lagi. Suasana di hutan Sewon telah gelap. Rimbun dedahunan membuat gelap semakin pekat. Tak tampak muka orang-orang, hanya kelihatan siluetnya saja. Dan dua siluet manusia itu bergerak mengendap-endap. Seolah gelap belum menyembunyikan mereka. Berjalan beriring di sela-sela pepohonan yang tinggi mencakar langit. Yang Depan sesekali menoleh, Yang Belakang mengikuti. Berjinjit-jinjit. Dan ketika kaki-kaki mereka menginjak daun kering, mereka berhenti. Takut suara-suara itu membangunkan macan tidur.
Yang Depan berhenti di balik pohon. Kepalanya tampak melongok. Melihat
ke depan. Matanya terarah ke pos polisi hutan. Telah kosong pos itu. Menoleh ke
belakang. Berbisik pelan:
“Sudah aman. Mari kita keluar.”
Dan mereka bergerak bergegas.
“Ssst. Hati-hati. Tetap waspada!”
Yang Depan berbisik ketika Yang Belakang menabrak bebatuan. Gelap senja
menghapus kenangan akan jalan yang dilalui tadi pagi, ketika mereka masuk
hutan.
“Sudah benar-benar aman?” Yang Belakang bergerak maju menjajari.
“Ya. Sudah. Kita pulang saja sekarang. Capek sekali,” sahut Yang Depan.
“Ya. Mari pulang.”
Yang Depan mengingatkan.
“Jangan lupa nanti malam.”
“Baiklah.” Yang Belakang menyahut berbisik.
Dan keduanya berpisah dekat lampu jalan. Sekilas, dibawah sinar lampu
tampak wajah keduanya mirip. Satu lebih tua dari yang lain. Keduanya berpisah
dalam diam. Tanpa salam berpisah. Seolah tak saling kenal. Yang satu seakan
enggan menjadi saksi untuk yang lain, bahwa senja itu mereka ada di situ.
***
Deru suara mobil terdengar lirih. Hampir tak bersuara. Pemiliknya keluar
dari balik kaca hitam mobil itu. Berjalan angkuh menuju gubuk reot pinggir
hutan Sewon. Gelap malam tak membuat lelaki gendut itu meraba-raba. Sepertinya
sudah hapal jalannya. Berdehem-dehem dan mengetok pintu.
“Ehem…ehem… tok…tok…tok…..”
Pemilik gubuk itu menyahut dari dalam seolah sudah janjian sebelumnya. “Mari tuan. Silahkan masuk.”
“Ada?” tanyanya pada pemilik gubuk, tetap angkuh.
Pemilik gubuk menjawab sopan, kedua tangan disilangkan di bawah
perutnya. Membungkuk sedikit.
“Ada tuan.”
“Berapa?”
“Kira-kira empat puluh kubik tuan.”
“Baik. Ini uangnya,” kata Si Gendut pemilik mobil.
“Terima kasih tuan.” Pemilik rumah membungkuk lagi, tanda terima
kasihnya tulus.
“Nanti malam?”
“Ya tuan.”
“Cepat!”
“Ya tuan.”
Si Gendut pemilik mobil bermaksud hendak pergi, namun kembali lagi dan
berkata lirih. Agak membujuk. “Apa bisa ditambah lagi? Pesanan banyak sekarang.”
“Saya usahakan tuan.”
“Usahakan ya! Jangan khawatir soal bayaran. Semua beres.”
Dan mobil mewah itu pun pergi. Tak meninggalkan suara. Tapak bannya telah terhapus angin malam. Tak
berbekas.
***
Di pinggir hutan Sewon dekat pos polisi hutan.
Ada orang berjalan masuk ke hutan. Kali ini tak berdua. Ada banyak orang
menyertai mereka. Tak berbilang. Berjalan beriringan. Tak lagi takut-takut.
Bulan telah bersinar penuh mengurangi kegelapan. Bukan itu yang membuat mereka
berani. Macan di pos itu telah pergi.
”Ayo cepat! Kita banyak pekerjaan!”
Yang Depan memberi aba-aba. Dengan senter
besar dia mengarahkan pejalan di belakangnya. Bergegas-gegas seolah berpacu
dengan datangnya pagi. Dari arah dalam terdengar lolongan anjing hutan, panjang
memilukan. Membuat bergidik bulu kuduk. Tapi orang-orang itu seolah tidak
mendengar. Terus berjalan cepat. Mereka tidak takut. Tidak! Yang mereka
takutkan hanya lapar. Lapar yang tak tertahankan lagi.
“Sudah sampai. Ayo cepat!” Yang Depan kembali
memberi perintah. Yang di belakang bersegera. Tali-tali diulurkan.
Sret…sret…sret… seperti mengikat sesuatu. Namun tak kelihatan. Senter
dimatikan. Namun mereka tetap gesit bekerja seolah hapal. Dan yang terdepan
berkali-kali terdengar memberi aba-aba.
“Cepat.” Berbisik.
“Cepat!” Berteriak dalam bisik.
“Cepat!”
Terdengar suara bergeledak-geledak. Balok-balok
kayu diseret ramai-ramai. Hilir mudik. Berkali-kali. Tetap membisu dalam gerak.
Takut bersuara. Meski geledak-geledak balok kayu yang diseret itu terdengar
lebih keras dari suara-suara mereka.
Dan menjelang tengah malam suara
geledak-geledak itu tak terdengar lagi. Tinggal suara-suara anjing hutan itu
kian melolong bersahutan. Dan lolongan itu makin menyayat hati. Seakan menjerit
tak rela tangan-tangan jahat menjamah hutan mereka.
***
Hari masih pagi. Kabut belum menguap dari muka
tanah. Antrean truk-truk itu telah panjang. Mirip antrean di pompa bensin ketika
langka BBM. Satu-persatu masuk dalam lapangan besar. Dan kuli-kuli bersiap
memenuhi truk-truk itu. Semangat kerja mereka menyala-nyala. “Ayo! Cepat. Satu,
dua, tigaaa…” terdengar aba. Dan, sebentar truk itu telah penuh dengan
balok-balok besar. Semakin siang, semakin tampak balok-balok itu adalah
kayu-kayu. Berbentuk agak bulat-bulat di keempat sisinya.
Antrean masih panjang. Semangat kuli-kuli tak
pernah kendur. Berjajar–jajar truk telah penuh, namun truk terus berdatangan. Kuli-kuli
bangkit lagi memuat yang tersisa. Sampai habis. Dan lapangan itu telah kosong.
Balok-balok telah dimuat semua. Namun antrean truk masih beberapa.
Berteriak sopir truk antrean paling depan.
“Bagaimana ini? Saya kok tidak kebagian.”
Di belakangnya bunyi klakson menyalak-nyalak.
Kuli-kuli mengangkat bahu.
“Saya tidak tahu. Saya hanya kuli. Tanya pada
juragan.”
Dan kembali klakson menyalak-nyalak. Kali ini
bersahutan.
Sebentar kemudian sedan mewah datang. Menderu
pelan dan berhenti di muka truk paling depan. Seorang laki-laki, Si Gendut turun.
Mendekat kepada Sopir.
“Sabarlah dulu. Masih banyak! Tapi harus
menunggu. Besok datang lebih pagi. Sekarang silahkan pulang dulu.”
“Besok pagi ada?” tanya sang Sopir enggan
beranjak.
“Ya. Pasti!” jawab Si Gendut mantap.
Truk-truk itu meninggalkan tempat. Hujan turun
rintik-rintik. Makin deras dan makin deras. Menghapus. Menyembunyikan jejak
truk-truk itu.
***
Di gubuk reot, pinggir hutan Sewon. Tampak
sepi. Di dalam terdengar kelesik-kelesik orang bicara.
Suara Perempuan terdengar, “Sudah Pak.
Istirahat saja! Dari kemarin kerja terus.”
“Tapi persediaan sudah habis, mbokne,” suara laki-laki
sopan kemarin menjawab.
“Biarkan saja. Kamu perlu istirahat Pak.”
“Tak bisa. Juragan bisa marah.”
“Apa haknya marah? Dia telah mendapatkan hasil
yang lebih banyak. Belum cukupkkah Pak? Dia telah memeras tenagamu dan
menimpakan resiko padamu.”
Lelaki itu terdiam, enggan menjawab.
Yang Perempuan cemberut. Marah campur sebal
kepada Yang Laki-laki.
Terdiam berdua.
“Aku hanya ingin bekerja mbokne.” Kata Yang
Lelaki seolah sudah bosan dengan pertengkaran itu.
“Kamu tidak bekerja. Kamu mencuri.”
“Mencuri? Apa yang kucuri?” Yang Lelaki mulai
marah.
“Tak ada barang curian kubawa pulang. Aku
hanya menerima upah dari tenagaku yang telah kuperas. Merekalah yang mencuri.”
“Mereka siapa?” tanya Yang Perempuan.
“Juragan. Juragan itu.”
“Tapi kau pelakunya Pak,” Yang Perempuan membalik
serangan, “kau yang akan menerima hukuman.”
“Tak ada yang dihukum. Kita hanya pelaku.
Dalangnya yang akan dihukum.”
“Bukan kita tapi kamu Pak.” Yang Perempuan
mencuci diri.
“Tapi kamu ikut makan hasilnya mbokne.”
Yang Perempuan terdiam. Dalam keterhimpitan
tak ada jalan lain untuk lari.
“Ah sudahlah. Beras sudah habis. Anak-anak
harus bayar sekolah. Aku berangkat mbokne.”
Laki-laki itu terdengar beranjak. Mendekati
pintu. Yang perempuan kembali berteriak.
“Jangan Pak! Kau sudah keterlaluan. Kau bukan
sedang mencari beras dan bayar sekolah anak-anak. Kita sudah mendapat lebih
dari cukup untuk itu.”
“Tapi aku tak bisa berhenti begitu saja.
Juragan itu akan mengorbankan aku jika aku tak mau lagi menuruti kehendaknya.
Aku sudah terperosok dalam lobang dan susah untuk keluar mbokne.”
Yang Perempuan tak merelakan lakinya pergi.
Tapi kehilangan alasan untuk melarang. Tinggal tangis senjata terakhirnya yang
belum ia pakai. Dan sedu sedan itu akhirnya keluar juga.
“Sudah diamlah! Memang nasib kita begini. Aku
juga tak mau menjadi pencuri kayu. Tadinya aku hanya mencuri karena lapar.”
Yang Laki-laki tepekur menyesali diri. Dan
suara Yang Perempuan menambah penyesalan itu semakin dalam.
“Dan kau sekarang juga menjadi pencuri itu
Pak. Karena kau melakukannya bukan lagi karena lapar.”
Yang Laki-laki tetap termenung. Tak tahu
berkata apa. Di luar terdengar langkah manusia.
“Ehem…ehem..”
Laki-laki itu menengok. Tampak seorang yang
mirip dengannya, hanya lebih muda. Dan keduanya pun pergi, meninggalkan si Perempuan
dalam tangisnya.
***
Nun jauh di sana, beratus kilometer dari hutan
Sewon. Di sebuah bangunan mirip pabrik, besar dan tinggi. Raungan mesin-mesin
tedengar memekakkan telinga. Atap seng dan tinggi tembok tak meredam
suara-suara itu. Tampak keluar masuk truk-truk bertutup terpal. Terhuyung
karena beratnya muatan. Satu persatu truk itu masuk, yang lain antre menunggu
giliran. Tiap truk itu keluar wajah sopir dan pendampingnya tampak ceria.
“Di sini dibayar kontan. Ayo cepat masuk!” kata
sopir itu pada sopir lainnya yang masih menunggu giliran.
Dan klakson dibunyikan tanpa kekesalan.
“Teet….teeet….” lambaian tangan menyambut
bunyi klakson itu.
Apa yang ada di balik bangunan gudang besar
itu, tak ada yang tahu. Tak ada yang boleh masuk ke sana tanpa kepentingan yang
jelas. Hanya dari celah pintu gerbang yang terbuka sesaat, tampak tumpukan
balok-balok kayu besar-besar, panjang-panjang mirip yang di hutan Sewon. Hanya
sesaat saja terlihat.
Namun para sopir yang kegirangan itu tak dapat
menyembunyikan rahasia di dalam. Percakapan mereka di warung saat istirahat telah
membocorkan semuanya.
“Wah benar-benar orang kaya Pak X itu,” Sopir memulai
percakapan pada tukang kebun di gudang itu.
Tukang kebun menjawab dengan berbusa-busa.
“Benar! Di penggergajian itu! Baru kali ini
kulihat tumpukan kayu segunung Merapi tingginya. Tiap hari berganti datang dan
pergi”
“Dan itu semua kayu curian.” Sopir kembali
bicara. Setengah berbisik.
“Sssst darimana kau tahu? Jangan bicara sembarangan!”
“Aku yang membawanya dari hutan Sewon.”
“Tapi kulihat semua pakai dokumen lengkap”
“Ya. Tapi itu kayu curian!” sopir menjawab
pasti.
“Aaakh!” tukang kebun mengangkat bahu menatap
sopir dengan curiga.
***
Kembali di tepi hutan Sewon, di sebuah gubuk
reot. Si Perempuan telah reda dari tangisnya. Melupakan pertengkarannya dengan
lakinya. Sibuk dalam kegiatan sehari-harinya, memasak di dapur. Betapa asyiknya
dia memasak. Berbagai masakan rupa-rupa, menghamburkan aneka aroma.
Dulu sekali tak ada asap mengepul dari dapur
kotor itu. Tak kenal dia apa itu rasa kenyang. Dan semuanya berubah sejak mobil
mewah tak bersuara itu sering datang kemari. Masih teringat dia bagaiman lelaki
gendut itu dengan segala cara membujuk-bujuk lakinya.
“Bapak ambil saja beberapa pohon. Cukup sampai
pinggir Desa Sewon ini. Selanjutnya nanti terserah saya.”
“Tapi saya takut tuan. Ada penjaga polisi
hutan di sana.”
“Tenanglah Pak. Semuanya teman sendiri. Asal
jangan terlalu mencolok. Jangan sampai ketahuan.” Si Gendut itu meyakinkan.
Lelaki gendut pergi meninggalkan suami-istri lapar
itu. Sesaat diam terkunci mulut-mulut mereka.
“Jangan Pak. Itu perbuatan tidak baik,” begitu
kata si perempuan ketika lakinya menatap seolah minta pertimbangan.
“Tapi apa kamu mau begini terus mbokne! Kita
lapar dan anak-anak tak bersekolah.”
Perempuan itu hanya diam. Soal anak-anak
terlalu berat baginya. Dan perempuan itu terpaksa merelakan lakinya pergi.
“Hati-hati Pak. Secukupnya saja. Sesudah itu
berhentilah,” pintanya.
Laki-laki itu mengangguk tanda berjanji.
“Ya mbokne.”
Tapi kini laki-laki lugu yang perkasa itu
telah menjadi bagian dari sindikat pembalakan hutan. Bos Besar yang tidak ia
kenal di ratusan kilometer jauhnya dari tempat itu takkan membiarkan dia
berhenti. Tangan-tangan kuasa Bos Besar itu begitu kuat mencengkeram.
***
Telepon berdering di sebuah rumah mewah. Lelaki
gendut, lebih gendut dari Si Gendut mengangkat gagang telpon itu.
“Ada apa?” suaranya berat leda-lede.
“Ada masalah Pak,” suara dari seberang sana
menyaut, suara si Gendut.
“Masalah apa?” masih tetap leda-lede.
“Anak buah kita Pak. Tertangkap,” suara
seberang sana menggigil.
“Biarkan cari orang lain,” suara leda-lede
itu masih tetap leda-lede.
“Dan sopir-sopir kita Pak. Kayu-kayu kita Pak.
Semua habis.”
“Ha…..ha…..ha…..begitu saja…”
“Dan saya juga Pak. Ditangkap.”
“Ha…..ha…..ha…..nanti saya keluarkan jangan
kawatir. Yang penting kamu tutup mulut. Diam adalah emas!” katanya tanpa takut.
“Tapi Pak, Bapak juga akan segera ditangkap!”
makin menggigil.
“Ha….ha….ha…….”
Dan suara dari seberang sana telah berganti. “Maaf
apakah ini Bapak X?” berganti suara itu dengan suara tegas.
“Ya benar! Ini siapa?” lelaki super gendut itu
marah oleh kata-kata tegas.
“Ini dari kepolisian. Lebih baik Anda
menyerah! Anda sudah dikepung. Suara Anda barusan bisa makin memberatkan Anda!”
suara itu makin tegas.
“Polisi mana? Berani tangkap saya? Hah…?!”
“Ini dari Tim Pemberantasan Pembalakan Hutan.
Sebaiknya Anda bekerja sama jika tidak ingin menerima hukuman lebih berat
lagi!”
Suara sirine keras memasuki halaman rumah
mewah itu. Sepasukan aparat bersenjata menyerbu. Tak ada pelindung bagi dirinya
lagi. Kini hukum yang bicara. Bos besar super gendut itu digiring untuk
diperiksa. Semua akan diproses sesuai hukum yang berlaku.
***
Di Pengadilan telah duduk dua orang pesakitan.
Dua orang yang mirip wajahnya, satu agak tua dan satu lebih muda. Masing-masing
didakwa dengan tuduhan yang sama, mencuri kayu di hutan pemerintah. Dua pencuri
kayu hutan Sewon itu terduduk malu di kursi terdakwa. Tak tampak lagi harga
diri seorang manusia. Sudah pasrah dia tapi beratnya beban hidup masih terbayang
di wajah-wajah mereka.
Hakim yang mulia membuka persidangan.
“Saudara-saudara sidang hari ini akan
mengadili kasus pencurian kayu di hutan Sewon. Dengan terdakwa kedua kakak
beradik Dadap dan Waru. Keduanya didakwa dengan tuduhan dengan sengaja
melakukan tindak pidana pencurian kayu di Hutan Sewon sehingga mengakibatkan
kerugian negara sebesar 100 milyar rupiah.”
Kedua terdakwa kakak beradik Dadap dan Waru
yang berwajah mirip itu saling pandang dengan wajah penuh tanda tanya. Tak
mengerti dengan apa yang tuan Hakim dakwakan.
“Apakah terdakwa sudah memahami isi dakwaan?”
hakim bertanya.
“Tidak mengerti tuan,” Dadap menjawab sopan
seperti ketika seorang Si Gendut datang ke rumahnya tempo hari.
“Apa yang tidak kamu mengerti?”
“Tuduhan itu tuan. Saya tidak mengerti mengapa
saya dituduh muncuri?” kata si Dadap.
“Karena kamu telah mengambil barang milik
negara tanpa ijin. Perbuatanmu itu telah merugikan negara sebesar 100 milyar.”
“Itulah yang tidak saya mengeri tuan. Selama
ini saya hanya menerima uang sebesar tidak kurang dari gaji seorang kuli. Dan
uang itu sungguh amat sedikit jumlahnya dibanding dengan tenaga yang harus kami
keluarkan, berhari-hari bekerja berat siang malam tanpa henti. Demi untuk
sesuap nasi tuan. Sesuap nasi dan uang sekolah anak-anak kami tuan. Itu saja,
itu saja tuan. Tidak lebih.”
Hakim masih tekun mendengarkan. Tapi hukum tak
boleh pandang bulu. Siapa yang melanggar harus dihukum.
“Tuan hakim yang terhormat,” kembali Dadap
bicara dengan penuh keberanian, “Semestinya tuan melihat kehidupan saya tuan.
Apakah kehidupan saya mirip dengan pencuri tuan? Tidak! Sekali-kali tidak. Saya
hanya orang yang memcoba mengusir rasa lapar dari perut saya dan kebodohan dari
anak-anak saya. Salahkah saya tuan Hakim yang terhormat?”
Hakim menjawab dengan penuh wibawa.
“Saudara Dadap dan Waru. Apa yang kalian
berdua katakan adalah benar bahwa kehidupan kalian berdua sungguh tidak mirip
dengan pencuri yang bergelimang kemewahan. Tetapi hukum tidak tidak pandang
bulu. Terhadap yang salah dia akan berlaku tanpa kecuali. Demikian juga padamu.
Adapun kondisi kehidupanmu, sopan santunmu dalam persidangan dan kerjasamamu
yang baik akan dipertimbangkan untuk meringankan hukumanmu tapi tidak untuk
kebebasanmu. Karena hukum adalah panglima dari segala aspek kehidupan
masyarakat kita.”
Persidangan kembali
dilanjutkan. Para saksi dihadapkan dan ditanya satu persatu. Bukti-bukti
dihadirkan dan diperiksa dengan seksama. Setelah persidangan maraton yang melelahkan
selama berhari-hari, tibalah saat hakim membacakan vonis.
“Oleh karena berdasarkan saksi-saksi dan
bukti-bukti kalian telah secara sah dan meyakinkan mencuri kayu-kayu di hutan Sewon
maka kalian akan menerima hukuman masing-masing selama 10 tahun penjara.”
Tok...tok...tok! Palu
hakim memukul mantap.
Persidangan bubar. Dua narapidana yang tak
mengerti hukum itu hanya tertunduk pasrah dihadapan putusan majlis hakim yang
terhormat.
***
Jauh di sana, di pabrik pengolahan kayu yang tertutup Si Gendut
dan Si Super Gendut turun dari mobil sedan mewah. Di belakang mereka dua orang perwira polisi turut menyertai
mereka turun, berjalan mengikuti sebagai tanda hormatnya.
“Mari masuk. Mari kita makan siang dulu,” ajak
Yang Super Gendut. Kali ini dengan ramah.
“Ya terima kasih!” perwira polisi menyahut
seraya mengikuti ke ruang makan.
Di meja makan telah terhidang aneka masakan
lezat mengundang selera.
“Anggap rumah sendiri saja. Mari silahkan!” Si
Super Gendut tak henti menyilakan tamunya.
“Mohon maaf sekali lagi Pak. Kami dari
kepolisian telah mengganggu waktu bapak berdua,” kata si perwira seolah
sungkan.
“Yah tidak apa-apa. Saya senang bisa membantu
polisi menegakkan keadilan. Dan kini setelah bapak periksa semua dokumen semuanya
jelas bahwa saya bersih dari segala sangkaan. Ya kan Pak?” Si Super Gendut tampak
santai menjawab.
“Ya Pak. Untuk itu kepolisian mengucapkan banyak
terima kasih atas kesediaan Bapak berdua mengikuti prosedur hukum yang berlaku,” perwira berkata
sopan penuh kekeluargaan.
“Ya sama-sama. Ini untuk bapak berdua sebagai
rasa persaudaraan kami,” Si Gendut ikut bicara sambil menyodorkan amplop kepada
dua perwira itu.
Dua perwira tampak
ragu.
“Ini bukan sogokan,”
kara si Super Gendut. “Ini tanda persaudaraan saja.”
“Terima kasih Pak.”
Dua perwira polisi pergi.
Dan Si Gendut bertanya kepada Super Gendut, “Bagaiman kita bisa
lepas Pak?”
“Ketahuilah orang yang bisa dihukum adalah
orang yang melanggar hukum. Dan kita tidak melanggar hukum yang manapun,” kara si Super
Gendut.
“Tapi bukankah kita yang mencuri kayu-kayu itu
Pak?”
“Bukan kita tapi mereka yang telah masuk
penjara itu yang mencuri. Kita telah membeli secara sah, semua dokumen kita
lengkap sesuai undang-undang yang berlaku. Seperti kata pepatah; hukum adalah
panglima dan uang adalah rajanya.”
Si Gendut terdiam. Kini dia mengerti, diam adalah emas baginya.
***